Senin, 12 September 2011

NAM HAI

" Ketika saya berada di tempat ini, seakan saya berada di suatu tempat dimana kaki sudah tidak berpijak pada bumi, saya merasakan suatu ketenangan batin yang begitu indah, seperti melihat dengan hati dan berjalan dengan perasaan, setiap kaki melangkah hati ini serasa dekat dengan Sang Pencipta, hati penuh rasa damai, semoga tempat ini akan selalu menjadi seperti apa yang kurasakan".


Nama wihara ini lebih dikenal sebagai Wihara Loji di komunitas keturunan Cina, baik yang beragama Buddha maupun non-Buddha.  Letaknya terpencil di Desa Kertajaya, Kecamatan Simpenan, Sukabumi sekitar  10 km dari pusat kota Pelabuhan Ratu. Wihara seluas 5 hektar ini berada di atas bukit dan dari situ kita bisa memandang lepas Pantai Loji dan Pelabuhan Ratu di kejauhan.

Menurut cerita penduduk, pendiriannya didasarkan pada mimpi seorang wanita Buddha asal Thailand. Pengaruh Buddhisme Thailand memang terasa kuat di wihara ini namun mereka tetap menghormati kepercayaan penduduk lokal. Di kompleks wihara yang dibangun sekitar 8 tahun lalu itu terdapat ruang khusus persembahan bagi Dewi Kwan Im, Nyai Roro Kidul, Semar, dan Prabu Siliwangi.

Menurut kepercayaan Buddha, Dewi Kwan Im (Pu Sa) merupakan perwujudan dari Buddha Avalokitesvara yang melambangkan welas-asih dan penyayang yang bersedia mengabulkan permohonan tulus dari umatnya. Dalam sejarah awalnya di Cina pada masa Dinasti Han, Buddha Avalokitesvara bersosok pria. Namun karena pengaruh ajaran Tao dan Kong Ho Cu, menjelang era Dinasti Tang, profil Avalokitesvara berubah dan ditampilkan dalam sosok wanita. Penganut Taoisme sebelumnya memang memuja Dewi Tao (Dewi Wang Mu Niang Niang).


Wihara ini tidak hanya dikunjungi oleh umat Buddha, tapi juga non-Buddha. Bahkan beberapa di antaranya adalah muslim. Pengunjung dapat menginap di wihara ini dengan menyewa villa yang harga sewanya berkisar antara Rp250.000-Rp350.000. Bila kehabisan tempat, pengunjung bisa menginap di ruang aula atau kantin secara cuma-cuma. Mereka menyediakan tikar dan makanan secara gratis 3 kali sehari.  Namun jangan harap bisa makan daging, karena aliran Buddhisme di wihara ini berpantang daging alias vegetarian.



Seperti wihara pada umumnya, Wihara Nam Hai juga memiliki simbol naga yang melambangkan energi (Chi) dan permulaan yang baru. 2 patung naga berkepala 7 akan menyambut pengunjung di pintu masuk, yang merupakan titik awal dari sekitar 300 anak tangga untuk mencapai puncak wihara. Di sana terdapat altar persembahan untuk Dewi Kwan Im (Pu Sa) yang didampingi oleh para dewa (Dewa Langit dan Dewa Kegembiraan) dan juga Nyai Roro Kidul!!!. Letaknya terbuka menghadap Samudera Indonesia. Pemandangannya indah sekali terutama pada saat matahari terbenam.

Untuk mencapai wihara ini, kita harus melewati perjalanan panjang dengan rute Jakarta-Ciawi-Sukabumi-Pelabuhan Ratu selama kurang lebih 6-7 jam *tidur berkali-kali dah saya selama perjalanan. Belum lagi lokasinya yang sangat terpencil harus melewati jalan berliku-liku *terpencil tapi banyak rumah warga lho .Belum lagi di tambah jembatan kayu yang harus di lewati , sebenarnya itu jembatan besi namun di alaskan kayu ,jadi terlihat seram !haha . Begitu tiba di vihara itu, masih ada 300 anak tangga yang harus dinaiki.  Sesampai di atas kita dapat menikmati indahnya pemandangan dari sana , sebenarnya masih ada lagi tangga untuk naik ke atas lagi , untuk ke tempat pemujaan . (by priseliamelia)

 

 

 
 

Vihara Nam Hai Kwan Se Im Pu Sa, Kampung Cibutun Desa, Kecamatan Simpenan, Kabupaten Sukabumi Jawa Barat.

 

 

 

 

Minggu, 11 September 2011

HOK TEK TJENG SIEN

HOK TEK TJENG SIEN - 福 德 正 神 :
Fu De Zheng Shen, secara umum disebut sebagai Tu Di Gong (Thouw Te Kong – Hokkian) adalah Dewa bumi. Karena merupakan salah satu dewa yang tertua usianya, maka beliau sering juga disebut sebagai Hou Tu.

Menurut para ahli sejarah, pemujaan terhadap Tu Di Gong sebetulnya berasal dari gabungan pemujaan-pemujaan terhadap Dewa-dewa Palawija seperti Xian Se, Tian Jun, Fang Shen, dan Shui Yong Shen, dewa-dewa penunggu tanah seperti pemujaan Bunda Bumi oleh kaisar purba.

Pemujaan terhadap Dewa Bumi ini sangat luas sekali wilayahnya. Di seluruh negeri, dapat dikatakan kelenteng Tu Di Gonglah yang paling banyak jumlahnya, ada yang besar, adapula yang kecil sekali dan sebetulnya tak layak disebut kelenteng. Umumnya keleteng pemujaan Tu Di Gong dinamakan Tu Di Miao atau Fu De Ci (Hok Tek Su – Hokkian). Kelenteng-kelenteng kecil umumnya terdapat di dusun-dusun, di tepi pematang sawah dah bahkan di halaman rumah. Karena kecilnya kelenteng ini, kadang-kadang untuk satu orang bersembahyang saja sulit. Bahkan di desa-desa terpencil yang melarat, pemujaan Tu Di Gong dilakukan di dalam sebuah jembangan air yang sudah pecah. Jembangan itu dibalik dan dari bagian dinding yang pecah ditempatkan sebuah arca Tu Di Gong, dan dianggap sebagai “kelenteng”. Sebab itu ada pemeo dikalangan rakyat yang mengatakan “you-wu zhu da – tang , mei wu zhu po – gang” yang berarti” kalau ada rumah tinggal didalam ruangan besar, kalau tak ada rumah jembangan pecah-pun jadi”. Kecuali kelenteng-kelenteng khusus, di kelenteng-kelenteng lain, biasanya disediakan juga altar pemuja Tu Di sebagai pelengkap.

Di semua tempat, Tu Di Gong biasanya di tampilkan dalam bentuk yang kurang lebih sama yaitu seorang tua, berambut dan berjenggot putih, dengan wajah tersenyum ramah. Pakaiannya bercorak seorang hartawan atau Yuan-wai (wan-gwe – hokkian), demikian juga topinya. Tapi ada juga di beberapa tempat yang menampilkan Tu Di dengan pakaian ala Cheng Huang Lao Ye (Dewata Pelindung Kota), dengan wajah putih, berambut dan jenggot hitam. Ada juga yang ditampilkan dengan berpasangan, yaitu Tu Di Gong di sebelah kiri, dan Tu Di Po (Nenek Tu Di) de siebelah kanan. Biasanya Tu Di selalu tampak menggenggam sebongkah uang emas di tangan kanannya. Tu Di Gong yang dipuja di dalam rumah umumnya tanpa pasangan. Adakalanya sang Dewa Bumi ditemani oleh seekor harimau. Harimau ini biasanya disebut Hu-jiang-jun(Houw Ciang Kun – hokkian), ia dianggap dapat membantu Tu Di mengusir roh-jahat dan menolong rakyat dari malapetaka.

Seperti juga Cheng Huang, Tu Di Gong mempunyai masa jabatan yang terbatas. Jabatan Tu Di Gong biasanya diduduki oleh orang-orang yang selama hidupnya banyak berbuat kebaikan dan berjasa bagi masayarakat. Setelah meninggal tokoh pujaan rakyat itu lalu diangkat sebagai Tu Di Gong. Sebab itu tiap tempat mempunyai Tu Di Gong tersendiri.

Tapi ada juga sebuah versi yang mengatakan bahwa Tu Di Gong sesungguhnya adalah seorang yang pernah hidup di jaman dinasti Zhou, pada masa pemerintahan kaisar Zhou Wu Wang, bernama Zhang Fu De, (lahir pada tahun 1134 SM). Sejak kecil Zhang Fu De sudah menunjukkan bakat sebagai orang yang pandai dan berhati mulia. Ia memangku jabatan sebagai menteri urusan pemungutan pajak kerajaan. Dalam mejalankan tugasnya ia selalu bertindak bijaksana tidak memberatkan rakyat, sehingga rakyat sangat mencintainya. Ia meninggal pada usia 102 tahun. Jabatannya digantikan oleh seorang yang bernama Wei Chao. Wei Chao adalah seorang tamak dan rakus lagi kejam. Dalam menarik pajak ia tidak mengenal kasihan, sehingga rakyat banyak sangat menderita. Akhirnya karena derita yang tak tertahankan, mereka banyak pergi meninggalkan kampung halamannya, sehingga sawah ladang banyak terbengkalai. Dalam hati mereka mendapatkan seorang bijaksana seperti Zhang Fu De yang telah marhum itu. (sebab itu kemudian mereka memuja Zhang Fu De (Thio Hok Tek – Hokkian ) sebagai tempat memohon perlindungan. Dari nama Zhang Fu De inilah kemudian muncul gelar Fu De Zheng Shen yang dianggap sebagai Dewa Bumi.

Tu Di Gong bertugas menjaga agar kehidupan rakyat aman dan bahagia, juga mengingatkan mereka agar selalu berbuat kebaikan tugas lain adalah memeriksa dan mencatat kelakuan orang apakah yang bersangkutan sering berbuat yang bertentangan dengan ajaran Tian. Catatan yang dikumpulkan ini diserahkan kepada Cheng Huang sebagai bahan pemerikasaan apabila orang tersebut meninggal.

Kaum petani menganggap Tu Di Gong sebagai Dewa pelindungnya. kaum pedagang memandangnya sebagai roh suci yang memasok rejeki. Dan masarakat umum memandangnya sebagai pelindung keselamatan. sebab itulah perayaan dan sembahyang untuk Tu Di Gong paling banyak dilakukan dalam setahun. pada masa yang lalu,bayak kaum pedagang yang bersembahyang pada tiap tanggal 1 dan 16 Imlik tiap bulan. Sembahyang ini disebut ”zuoya” atau ”ya-fu”, dengan tujuan untuk memohon perlindungan dan rejeki dari sang Dewa. Upacara sembahyang pada tanggal 2 bulan 1 Imlik disebut ”tou-ya” (thou-ge – hokkian), tanggal 2 bulan 2 Imlik disebut sembahyang ”ya-li” untuk merayakan hari ulang tahun Tu Di, dan tanggal 16 bulan 12 Imlik disebut ”wei-ya” (atau penutup). Biasanya sembahyang ini diikuti dengan pertunjukan wayang dan tari-tarian. Sedangkan kaum tani karena menganggap hasil jerih payahnya itu adalah hasil lindungan dari sang Dewa Bumi, mereka memilih tanggal 15 bulan 3 Imlik yaitu yang lazim disebut hari raya Zhong-qiu untuk mengadakan sembahyang berterima kasih kepadanya karena hasil panennya baik. Perayaan Zhong-qiu ini sangat meriah tidak hanya didusun tapi juga di kota-kota .(Sumber: Luciabio Vihara Bodhi Dharma).